Sabtu, 09 Maret 2013

REVIEW: PERMATA DALAM LUMPUR

Okay, so, it's a book. Documentary book, I guess. I didn't bring the book here with me cause apparently, my mom loves it too much she brought that back to Balikpapan. I was trying my best to find the cover in Google, but, apparently again, that book is not popular in whatsoever condition.

Maybe it's just me who's weird to like that book .__.

Btw, there I was, standing in Gramed, feeling lost. I really don't know what to buy. The only reason I was there is because I wanna buy Dorland, which I know now is not as simple as you, wanna buy a pack of cassava chips (let's just say it that way).

But then, my eyes were nailed down to a book. It was black, my favorite color. Something draws my hand to pick it up. "Permata dalam Lumpur" the cover said "Mengungkap Rahasia Kelam Perkampungan Dolly"

"Well that's weird" I remembered. Suddenly my mind brought me all the way when I was a kid. Ah, that time, "Feeling Unsecured" was my middle name. A little girl, with skinny characteristic and asthma on the way. Don't wanna brag, but I am smart, but again people don't  see me because of my passiveness. Knowing that fact, my mom told me over and over that "Mutiara akan selalu bersinar, dimana pun dia. Di pinggir pantai, maupun di air comberan, ia adalah mutiara, ia akan selalu bersinar"

"Jadilah mutiara, walau kau ditaruh ditengah lumpur sekali pun" that's one of the word which makes me to go this far.

Pendek kata, I bought that book, went home, read it all over in 2 hours, pertanda itu buku yang sangat bagus!

So, that book was telling me about Dolly, a prostitution village in Surabaya. Prostitution, hmm... I bet all of you are thinking about the same thing: "What's this kid doing around this line? Inappropriate!"

Alright, it's all up to you to judge me, really, I don't care. But please, read first. Don't judge a book from it's cover.

Buku itu menceritakan (or should I say mendokumentasikan?) kehidupan para pelacur di Dolly. Iya, Dolly yang itu. Yang apparently kampung prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu (eh Asia Tenggara apa Asia ya? Pokoknya terbesar) mengalahkan Thailand bahkan.

Membaca buku ini, mata saya benar-benar dibuka tentang apa yang terjadi di Indonesia, lebih dari orang-orang Indonesia yang setiap hari mantengin channel TV lokal. I mean, acara gosip gak bakal ngomongin tentang para pelacur itu kan?

Membaca buku ini, kalau memang anda tertarik dengan kehidupan sosial dan apa yang terjadi didalamnya (dan bukan tentang artis!) anda pasti akan manggut-manggut sendiri. Menyadari, kalau apa yang selama ini ditanamkan masyarakat, opini-opini itu, tidak semuanya benar. Sama seperti dokter yang disalahkaprahkan memegang hidup mati pasien, prostitusi juga seperti itu. Tidak percaya? Tanyakan saja tetanggamu, atau dirimu sendiri sekarang. Mayoritas pasti beranggapan kalau prostitusi itu buruk, dan yang buruk dari yang terburuk pasti para pelacurnya. Padahal kalau kita menelaah, dari satu perspektif ke perspektif yang lain, para pelacur itu, sedikit banyak hanyalah seseorang yang dikorbankan. Mayoritas dari mereka adalah perempuan-perempuan desa yang merantau ke kota dengan iming-iming akan dipekerjakan dengan gaji yang lumayan. Eh ternyata sesampainya disini (kota maksudnya) mereka malah dibawa ke mucikari, dijadikan antek-antek pemuas nafsu lelaki.

"Saya sebenarnya nggak mau begini. Kalau saya diberi kesempatan, ada modal, saya lebih memilih untuk berjualan." itu merupakan kata-kata yang saya ingat diucapkan oleh salah seorang prostitute di buku itu. Maaf lupa namanya siapa, udah lama banget ngga baca bukunya.

See? Mereka bahkan ingin bebas. BANYAK, dari mereka yang ingin bebas. Dan satu-satunya dinding pembatas antara mereka dan kebebasan itu adalah EKONOMI. Mereka bingung, harus lari kemana, kepada siapa, saat semua orang memandang mereka lebih hina dari seekor lalat sekalipun. Mereka malu, untuk pulang, kembali ke kampung mereka, dan toh kalau sudah disana bisa kerja apa? Berjualan di kampung dan di desa pasti untungnya lebih besar di kota.

Buku ini juga membahas tentang "dalang-dalang" yang "bermain" pada bisnis ke-pelacur-an. Oh, tidak, saya tidak membicarakan tentang mucikari, bosen banget bicarain mereka. Namanya juga "dalang", adalah mereka orang-orang yang menjalankan bisnis ini secara kasat mata. Fakta lucu dan menggiris hati sebenarnya adalah ternyata, pemerintah kita juga ikut ambil andil dalam bisnis ini. Pernah bertanya-tanya nggak sih.. eh, mikir aja deh, kenapa sih kok ada tempat prostitusi sebesar itu, senyata itu, tapi nggak juga diberi peringatan nyata? Nggak juga diusut sebagai isu nasional karena well, memalukan negeri kita yang notabene mayoritas Islam?

Pokoknya.. Baca aja deh! Entah kalian yang tertarik dengan sosial, hukum-politik, agama, kesehatan, dan tentunya budaya, coba deh buka mata kalian dengan buku yang multi-persepsi ini :)